IRA

Perhimpunan Reumatologi Indonesia
Indonesian Rheumatology Association

LUPUS, Penyakit Seribu Wajah

Oleh: Natsir Akil

Penyakit lupus juga dikenal dengan nama systemic lupus erytematosus (SLE) merupakan salah satu penyakit autoimun. Autoimun menggambarkan suatu kondisi dimana sistim imun didalam tubuh tidak mampu membedakan antara kuman dan benda asing dari luar tubuh dengan sel-sel atau jaringan tubuh sendiri, sehingga sistim imun menyerang sel-sel dan jaringan tubuh sendiri. Oleh karena penampilan penyakitnya  sangat beragam dan gejala serta tanda-tandanya banyak menyerupai penyakit lain, maka penyakit ini juga dikenal dengan istilah penyakit seribu wajah. Istilah ini menggambarkan bahwa pada penderita lupus bisa muncul gejala yang tidak khas  dan samar-samar, yang menyebabkan kesulitan dalam mengenali penyakit lupus ini. 

Kata lupus pertama kali digunakan pada tahun 1200 sebelum masehi, untuk menggambarkan suatu kelainan pada muka yang disebut dengan ulserasi. Kata lupus sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti serigala. Istilah ini bersumber dari bercak pada dikulit yang terlihat menyerupai gigitan dari serigala.  Bercak kemerahan yang khas pada lupus disebut malar butterfly rash, yaitu bercak kemerahan yang melintas diatas hidung dan menyebar ke kedua pipi yang gambarannya menyerupai kupu-kupu.  Selain mengenai kulit dan selaput lendir, lupus juga menyerang sendi, ginjal, jantung, paru-paru, pembuluh darah, dan otak.

Lupus banyak dijumpai pada wanita, terutama wanita usia reproduktif  dibanding laki-laki, dan umur terbanyak adalah pada 15-45 tahun, namun demikian pada anak-anak dan usia lanjut juga bisa ditemukan. Meskipun 90% penderita lupus pemeriksaan laboratorium ANA (anti-nuclear antibody) nya positif, tidak ada satu pun pemeriksaan laboratorium tunggal yang dapat memastikan seseorang menderita lupus. Banyak penderita mengalami gejala-gejala lupus untuk beberapa tahun lamanya, sebelum mereka betul-betul ditetapkan menderita lupus.

Sistim Imun dan Lupus

Setiap hari tubuh kita terpapar oleh berbagai benda asing, baik berupa kuman ataupun zat-zat kimia yang dapat merusak tubuh. Tubuh tetap tidak mengalami gangguan apapun karena di dalamnya terdapat suatu sistim yang disebut sistim imun (sistim kekebalan) yang membasmi kuman atau menetralkan benda asing yang masuk. Jika tubuh terpapar oleh benda asing, ada dua respon imun yang akan terjadi, yang pertama adalah respon imun tidak spesifik, yang merupakan kekebalan bawaan (innate immunity) yang memberikan respon terhadap benda asing walaupun sebelumnya tidak pernah terpapar oleh benda asing tersebut. Respon imun yang kedua adalah respon imun spesifik, merupakan respon imun didapat (acquired) yang timbul terhadap benda asing, terhadap mana tubuh pernah terpapar sebelumnya dengan benda asing tersebut.

Sistim imun berfungsi melindungi tubuh terhadap setiap benda asing yang masuk terutama kuman yang dapat menyebabkan infeksi. Kerja sistim imun tergantung pada kemampuan sistim imun mengenali molekul atau antigen yang terdapat pada benda asing atau kuman dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber  antigen bersangkutan. Proses pengenalan antigen dilakukan oleh unsur utama sistim imun yaitu sel limfosit, yang kemudian diikuti oleh fase efektor yang melibatkan berbagai jenis sel. Pengenalan antigen sangat penting dalam fungsi sistim imun normal, karena limfosit harus mengenal semua antigen yang terdapat pada benda asing, yang potensial bisa menyebabkan gangguan pada tubuh, dan pada saat yang bersamaan ia juga harus mengabaikan molekul-molekul jaringan tubuh sendiri.

Kondisi ini disebut toleransi, dimana sistim imun hanya akan bereaksi terhadap benda asing yang akan merusak tubuh, sementara  dengan tubuh sendiri tidak akan bereaksi. Berkaitan dengan hal tersebut, limfosit pada seseorang individu melakukan diversifikasi selama perkembangannya sedemikian rupa sehingga populasi limfosit secara keseluruhan mampu mengenali seluruh benda/molekul asing dan membedakannya dari molekul jaringan atau sel tubuh sendiri.

Dalam keadaan normal sistim imun menghasilkan sesuatu protein yang disebut antibodi (protein kekebalan). Antibodi ini berfungsi mempertahankan tubuh kita terhadap serangan benda asing, dengan cara menetralkan benda asing yang masuk ke tubuh kita. Pada keadaan sistim imun tidak mampu mengenali diri sendiri, maka terjadilah kondisi yang disebut autoimun yaitu sistim imun mengenali tubuh sendiri sebagai benda asing, sehingga sistim imun akan menyerang dan merusak sel dan jaringan tubuh sendiri.

Kondisi inilah yang terjadi pada penderita lupus, dimana sistim imun pada penderita lupus tidak mampu mengenali diri sendiri sehingga menyerang dan merusak organ atau jaringan tubuh sendiri. Selain itu sel-sel sistim imun juga menghasilkan protein yang disebut autoantibodi, yang juga merusak jaringan dan sel tubuh sendiri.

Penyebab Lupus dan Faktor Pencetus

Lupus adalah penyakit yang kompleks dan sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mengapa seseorang menderita lupus. Namun demikian kombinasi dari berbagai faktor antara lain lingkungan, hormonal, kelainan pada sistim imun, dan faktor genetik diduga menjadi penyebab terjadinya lupus. Faktor lingkungan meliputi paparan sinar matahari, merokok, stres, obat-obatan tertentu, dan infeksi virus. Faktor genetik berperan penting sebagai faktor penyebab lupus. Meskipun demikian tidak semua orang yang punya kecenderungan (predisposisi) genetik akan menderita lupus. Hanya sekitar 10% penderita lupus mempunyai orang tua atau saudara kembar yang juga menderita lupus. Penting sekali untuk memperhatikan faktor-faktor yang dapat mencetuskan atau memperberat gejala-gejala lupus. Beberapa faktor antara lain : paparan sinar matahari, kerja berat dan kurang istirahat, mengalami stres, menderita infeksi, trauma, menghentikan obat-obat lupus, dan penggunaan obat-obat tertentu.

Tanda-tanda dan gejala-gejala Lupus

Gejala dan tanda-tanda lupus berbeda antara satu penderita dengan penderita lain. Bahkan dikatakan tidak ada dua orang yang mempunyai gejala dan tanda-tanda lupus yang sama. Penampilan lupus juga bisa menyerupai banyak penyakit lain, sehingga penyakit lupus juga dikenal dengan istilah penyakit seribu wajah. Beberapa penderita hanya memiliki sedikit gejala, sementara yang lainnya muncul dengan banyak gejala. Gejala dapat hilang timbul. Pada saat gejala muncul atau bertambah berat (flare) penderita merasa sakit, dan pada saat gejala menghilang (remisi) penderita merasa sehat.

Meskipun lupus dapat mengenai seluruh organ di dalam tubuh, pada kebanyakan kasus, lupus hanya mengenai beberapa bagian dari tubuh. Sebagai contoh pada seseorang mungkin hanya mengalami pembengkakan pada lutut dan demam. Pada penderita lain hanya merasakan kelelahan sepanjang hari atau hanya gangguan pada ginjal.  Pada kasus yang lain, mungkin hanya ditemukan bercak kemerahan pada kulit.  Seiring dengan perjalanan waktu, gejala-gejala dapat muncul lebih banyak.  Perjalanan penyakit lupus lambat, dengan gejala-gejala yang hilang timbul. Pada wanita yang menderita lupus, gejala-gejala dan diagnosis umumnya ditegakkan antara umur 15-45 tahun. Namun demikian lupus juga dapat ditemukan pada anak-anak dan usia lanjut.

Pada beberapa orang, manifestasi lupus adalah ringan, namun pada yang lainnya lupus dapat muncul dengan gejala yang berat dan dapat mengancam jiwa.  Gejala yang umum ditemukan pada penderita lupus adalah nyeri dan kekakuan pada sendi tanpa disertai dengan pembengkakan, nyeri dan kelemahan pada otot, demam yang tidak diketahui sebabnya, perasaan sangat lelah, bercak kemerahan pada muka yang menyerupai kupu-kupu ataupun bercak kemerahan pada kulit di tempat lain, penurunan berat badan, sel darah merah yang rendah, gangguan berpikir/mengingat ataupun kebingungan, gangguan pada ginjal, nyeri dada pada waktu menarik napas yang dalam, timbul bercak kemerahan pada kulit jika terpapar sinar matahari, rambut rontok, ujung jari tangan atau kaki pucat atau keunguan jika terkena hawa dingin. Sementara gejala-gejala yang jarang adalah gangguan pembekuan darah, kejang-kejang, sariawan pada mulut atau hidung yang tidak nyeri, sakit kepala, kelumpuhan pada anggota gerak (stroke), mata kering dan gangguan kejiwaan berupa perasaan sedih. 

Kewaspadaan Lupus

Perhimpunan Reumatologi Indonesia (Indonesian Rheumatism Assosiation – IRA) membuat suatu pedoman didalam mewaspadai kemungkinan seseorang menderita lupus. Ada 11 kriteria, jika ditemukan 2 atau lebih dari kriteria yang tersebut dibawah ini, maka kita perlu mewaspadai seseorang menderita lupus. Kriteria kewaspadaan lupus meliputi:

1. Wanita muda dengan terdapat kelainan pada 2 organ tubuh atau lebih.

2. Terdapat gejala-gejala umum seperti kelelahan, demam tanpa adanya bukti menderita infeksi, dan penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.

3. Terdapat kelainan pada organ otot dan tulang seperti radang sendi (artritis), nyeri sendi (atralgia), radang otot (miositis)

4.  Kelainan pada kulit dan selaput lendir berupa bercak kemerahan pada muka yang menyerupai kupu-kupu, kulit jadi merah jika terpapar matahari (fotosensitivitas), lesi pada selaput lendir mulut (sariawan), rambut kepala rontok (botak), ujung-ujung jari tangan dan kaki menjadi pucat jika terkena hawa dingin.

5.  Gangguan pada ginjal antara lain kencing berwarna merah, terdapat protein dalam air seni (proteinuria), bengkak seluruh badan akibat gangguan ginjal (sindroma nefrotik)

6. Gangguan pada sistim saluran pencernaan dengan gejala-gejala mual, muntah, dan nyeri perut

7. Gangguan pada paru berupa lesi pada jaringan paru, peningkatan tekanan pembuluh darah paru (hipertensi pulmonal)

8. Peradangan pada otot jantung (miokarditis) dan selaput jantung (perikarditis/endokarditis)

9. Pembesaran organ limpa (splenomegali), hati (hepatomegali), dan jaringan limfe (limfadenopati)

10. Kekurangan sel-sel darah merah (anemia), sel-sel darah putih (leukopenia), dan sel-sel pembekuan darah (trombositopenia)

11. Gangguan kejiwaan (psikosis) dan gangguan pada saraf seperti kejang-kejang

Penatalaksanaan lupus

Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan lupus. Tujuan penatalaksanaan lupus adalah mencegah terjadinya flare, mengatasi gejala yang muncul, dan yang terpenting adalah mencegah terjadinya kerusakan organ. Penatalaksanaan lupus meliputi edukasi dan konseling, program rehabilitasi, dan pemberian obat-obatan.

Obat-obatan yang dapat digunakan pada penderita lupus meliputi :

1. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), obat ini dapat digunakan untuk mengatasi nyeri dan pembengkakan pada sendi dan otot. Biasanya hanya digunakan pada lupus ringan dan organ vital tidak mengalami gangguan. Perlu kehati-hatian dalam penggunaannya karena dapat menyebabkan gangguan pada lambung, sakit kepala, penimbunan cairan di dalam tubuh, gangguan pada hati, darah, dan ginjal. Obat ini juga dihindari penggunaannya pada wanita hamil setelah tiga bulan pertama kehamilan. Demikian juga perlu kehati-hatian pada wanita menyusui

2.Kortikosteroid atau steroid, obat ini digunakan untuk mengatasi pembengkakan dan nyeri pada berbagai organ tubuh. Pada dosis besar, obat ini dapat menekan kerja sistim imun. Gejala lupus memberi respon perbaikan yang cepat dengan pemberian obat ini. Begitu gejala membaik, maka dosis obat ini perlu diturunkan perlahan-lahan sampai dengan dosis yang paling kecil yang masih dapat mengontrol aktifitas penyakit. Selain efeknya yang kuat dalam mengatasi gejala lupus, obat ini juga mempunyai banyak efek samping yang harus menjadi bahan pertimbangan didalam penggunaannya. Efek samping jangka pendek meliputi bengkak pada muka (moon face), timbul jerawat, nyeri ulu hati, nafsu makan meningkat, berat badan bertambah, dan perubahan suasana hati. Efek samping ini biasanya menghilang setelah obat dihentikan. Efek samping jangka panjang meliputi mudah mengalami memar, kulit dan rambut menipis, tulang keropos, peningkatan tekanan darah, peningkatan gula darah, kelemahan pada otot, infeksi, dan katarak. Beberapa penderita mungkin menderita luka, depresi, ataupun gagal jantung. Kortikosteroid dapat digunakan selama kehamilan.

3. Obat anti malaria, obat ini digunakan untuk pencegahan dan pengobatan malaria, tetapi juga mempunyai efek yang baik dalam mengatasi gejala lupus. Efektifitas obat ini terlihat baik pada lupus dengan keterlibatan kulit dan muskuloskeletal, juga baik untuk mengatasi gejala kelelahan dan inflamasi pada paru. Ada dua obat yang sering digunakan yaitu klorokuin dan hidroksiklorokuin. Efek samping yang utama akibat penggunaan obat ini adalah gangguan pada penglihatan. Sebelum penggunaan obat anti malaria penderita disarankan untuk memeriksakan matanya ke dokter mata.

4. Obat Immunosupressif, obat ini bertujuan menekan sistim imun pada penderita lupus, terutama digunakan pada lupus yang berat. Obat-obatannya antara lain azathioprine, cyclophosphamide, mycofenolate mofetil, dan methotrexate. Efek samping yang dapat terjadi dengan penggunaan obat ini, antara lain mual, muntah, rambut rontok, gangguan pada kandung kemih, penurunan kesuburan, kanker, dan infeksi.  

 Lupus dan kehamilan

Karena kebanyakan penderita lupus adalah wanita dan diagnosis umumnya ditegakkan pada usia reproduktif, maka isu kehamilan dan lupus menjadi hal penting. Beberapa hal yang perlu diketahui menyangkut lupus dan kehamilan adalah tingkat kesuburan wanita lupus (fertilitas),  waktu yang tepat untuk hamil, risiko flare pada saat hamil, kemungkinan bayi lahir dengan selamat, keamanan penggunaan obat-obat yang digunakan untuk mengontrol lupus pada saat kehamilan dan menyusui, dan penggunaan kontrasepsi. Lupus biasanya tidak mengurangi tingkat kesuburan wanita penderita lupus, namun demikian lupus akan meningkatkan risiko terhadap kehamilan dan terjadinya komplikasi.

Beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi kesuburan seorang penderita lupus adalah siklus menstruasi yang tidak teratur yang bisa terjadi selama fase aktif dari lupus dan penggunaan obat steroid dengan dosis tinggi. Gangguan ginjal yang terjadi akibat lupus dapat menyebabkan amenore (tidak mendapat haid). Pemberian obat siklofosfamid juga dapat menyebabkan gangguan pada ovarium (indung telur). Sepertiga dari penderita lupus mengalami perbaikan gejala selama kehamilan, sepertiga lagi makin memburuk, dan sepertiga sisanya tidak mengalami perubahan gejala. Tidak ada pemeriksaan yang dapat memperkirakan siapa yang akan mengalami perburukan gejala selama kehamilan, tetapi pada penderita lupus yang sudah mengalami remisi selama lebih dari enam bulan memperlihatkan risiko yang rendah untuk terjadi kekambuhan (flare) dan bayinya dapat lahir dengan normal.

Sejumlah penelitian mendapatkan bahwa hamil pada saat lupus dalam keadaan aktif, akan meningkatkan risiko terjadinya flare selama kehamilan.  Demikian juga risiko terjadinya preeklampsia meningkat pada penderita lupus. Risiko terjadinya gagal ginjal juga meningkat pada penderita lupus hamil dengan gangguan ginjal (lupus nefritis) yang bisa mengakibatkan kematian.  Wanita hamil dengan lupus, khususnya yang mendapat kortikosteroid mempunyai risiko untuk terjadinya peningkatan tekanan darah, kencing manis (diabetes), dan komplikasi pada ginjal. Pada penderita lupus yang tidak ingin hamil, disarankan untuk menggunakan kontrasepsi. Penggunaan kontrasepsi pada penderita penderita lupus didasarkan pada kondisi penderita dan diberikan secara individual.

Kontrasepsi oral merupakan pilihan bagi penderita dengan keadaan penyakit yang stabil, tanpa suatu kelainan sindroma antifosfolipid (APS). Ada kekhwatiran penggunaan kontrasepsi oral, karena di dalam pil kontrasepsi terdapat hormon estrogen yang dapat memicu kekambuhan dari lupus, tetapi dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa pendapat tersebut lemah. Sementara penggunaan spiral (IUD) tidak dianjurkan pada penderita lupus yang mendapat obat steroid atau obat-obat penekan sistim imun, karena risiko terjadinya infeksi, sehingga pilihannya adalah kondom. Konsultasi dengan para ahli sangat penting untuk menentukan kontrasepsi yang sesuai dengan kondisi penderita.   

Pengelolaan diet pada penderita lupus

Saat ini belum ada patokan yang pasti mengenai pola diet yang harus dijalani oleh penderita lupus. Diet pada penderita lupus mungkin perlu penyesuaian tergantung gejala, pengobatan yang diberikan, dan hal-hal lain. Penderita lupus dengan lemak darah yang tinggi, perlu mengkonsumsi makanan rendah lemak. Diet rendah lemak juga berguna untuk menghindari risiko menderita penyakit jantung. Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa diet rendah lemak akan menekan sistim imun yang over aktif. Pada keadaan suhu badan yang tinggi perlu mengkonsumsi makanan dengan kalori tinggi.

Penderita lupus yang mengalami gangguan ginjal seharusnya menghindari makanan dengan kadar protein yang tinggi, karena akan memperberat gangguan fungsi ginjal penderita lupus. Jika menggunakan steroid, yang dapat menyebabkan paningkatan berat badan, maka perlu pengurangan kalori. Pada penderita lupus yang sedang menggunakan steroid juga disarankan banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung kalsium, yang berguna untuk menghindari terjadinya pengeroposan tulang (osteoporosis),  baik akibat penggunaan steroid, maupun akibat penyakit lupusnya  sendiri. Oleh karena penderita lupus tidak diperbolehkan terpapar sinar matahari, maka disarankan banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung vitamin D.

Olah raga dan lupus

Olah raga atau latihan pada penderita lupus tetap merupakan hal yang penting. Meskipun demikian latihan harus disesuaikan dengan kondisi penderita dan derajat aktifitas penyakit, dan sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu kepada dokter yang merawat sebelum memulai latihan. Dengan latihan diharapkan penderita lupus dapat mempertahankan kekuatan otot, mencegah kekakuan sendi, mengatasi gejala kelelahan, dan mencegah terjadinya peningkatan berat badan.

Organisasi American College of Rheumatology, menyarankan 4 bentuk latihan yang dapat dilakukan pada penderita lupus yaitu :

1. Latihan kelenturan (flexibility exercise) yang meliputi latihan peregangan dan latihan ruang lingkup sendi, bertujuan mencegah kekakuan dan meningkatkan kelenturan otot dan sendi,

2. Latihan penguatan otot, bertujuan agar otot yang kuat dapat menopang sendi dengan lebih baik,

3. Latihan aerobik, meliputi berjalan, bersepeda, dan berenang. Latihan ini bertujuan meningkatkan fungsi jantung dan paru-paru

4.Latihan body awareness, yang meliputi yoga, tai chi, dan pilates. Latihan ini bertujuan memperbaiki postur tubuh, keseimbangan, dan koordinasi.

*Penulis adalah Spesialis Penyakit Dalam-Konsultan Reumatologi di RS Restu Ibu dan RSKD Balikpapan, Kalimantan Timur

Daftar Rujukan

1.     Anonymous. Health Providers Lupus Toolkit, http://www.massleague.org/Programs/ClinicalQualityInitiatives/prov-, diakses Tanggal 5 Nopember 2012.

2.     Anonymous. Lupus, frequently asked questions,http://www.womenshealth.gov, diakses pada tanggal 5 Nopember 2012.

3.     Anonymous. Nutrition, Diet and Lupus www.lupuscanada.org/pdfs/factsheets/Nutrition-Online.pdf, diakses pada Tanggal 5 Nopember 2012.

4.     Arthritis Foundation. Lupus, http://medicine.iupui.edu/RHEU/Patients/patienthandouts/Lupus.pdf, diakses pada Tanggal 10 Nopember 2012.

5.     Buyon JP. Systemic Lupus Erythematosus: Clinical and Laboratory Features. Dalam: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH. Primer on the rheumatic diseases 13th ed. Springer, New York. 2008. Hlm. 303-318. 

6.     Culwell KR,  Curtis KM,  Cravioto MDC. Safety of Contraceptive Method Use Among Women With Systemic Lupus Erythematosus: A Systematic Review, Obstet Gynecol 2009;114:341?53.

7.       Lakasing L, Khamashta M. Contraceptive practices in women with systemic lupus erythematosus and/or antiphospholipid  syndrome: What advice should we be giving?, J Fam Plann Reprod Health Care 2001 27: 7-12.

8.     Ludlam K. Exercises for Lupus, lupus.webmd.com/community-tv-lupus-11/lupus-exercise, diakses pada Tanggal 11 Nopember 2012.

9.     Manzi S,  Kao AH. Systemic Lupus Erythematosus: Treatment and Assessment. Dalam: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH. Primer on the rheumatic diseases 13th ed. Springer, New York. 2008. Hlm. 327-338.

10.  McMurray RW, May W. Sex Hormones and Systemic Lupus Erythematosus: Review and Meta-Analysis, Arthritis  Rheum    2003, 48; 2100?2110.

11.    Mok CC,Wong RWS. Pregnancy in systemic lupus erythematosus, Postgrad Med J 2001;77:157?165.

12.  Simard JF, Costenbader KH. Epidemiology and classification of systemic lupus erythematosus. Dalam: Hochberg MC dkk. Rheumatology 5th ed. Mosby Elsevier, Philadelphia 2011. Hlm. 1223-1228.

13.  Rall LC,  Roubenoff R.  Diet and Lupus: Fact versus Fiction,  www.bclupus.org/reference_library/Articles. Diakses pada Tanggal 5 Nopember 2012.

14.  Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik, 2011.