PENYAKIT lupus bisa menimpa siapa saja, terutama anak kecil. Penyakit seribu wajah yang mematikan ini hingga sekarang belum ditemukan obatnya. Meski begitu, penyakit lupus bisa dikendalikan, terutama jika dideteksi secara dini.
Budi Setia Budiawan, dokter spesialis anak Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, mengatakan cara mendiagnosa lupus anak dan dewasa sama, meliputi 11 kriteria. Sebanyak 11 kriteria lupus tersebut berupa gejala dan pemeriksaan labolatorium. Jika pada anak ditemukan empat dari 11 kriteria, maka sudah bisa dipastikan lupus.
Budi mengungkapkan, sebanyak 11 kriteria tersebut meliputi malares, yaitu merah di pipi yang mirip kupu-kupu. Malares ini harus melewati hidung. Kriteria selanjutnya jika terkena matahari, merah di pipi tersebut bertambah, ada radang sendi (artritis), timbul bercak, luka di mulut, dari urin keluar protein di mana tes positif atau negatifnya melalui laboratorium, ada cairan di rongga jantung, pemeriksaan cairan di paru, pemeriksaan penurunan HB, pemeriksaan penurunan lekosit, dan panas atau demam berkepanjangan.
“Kita harus dapat empat dari 11 kriteria, baik dari gejala saja maupun lewat laboratorium,” kata Budi, usai peringatan hari lupus di Bandung yang jatuh bulan ini.
Menurutnya, lupus pada anak umumnya ditandai dengan munculnya gejala seperti sakit sendi, bengkak, pipi merah, dan panas tidak turun-turun. Dalam sebulan, dirinya melayani kurang dari 10 pasien baru penyakit lupus dengan kondisi berat dan ringan.
Usianya rata-rata ABG atau masa puber.
Penyakit lupus juga bisa terjadi sejak lahir (neonatal). Cirinya, saat lahir bayi kuning atau punya kelainan jantung. Untuk mengeceknya, bisa dilihat dari antibodi ibunya, bisa melalui cairan di rahim. Hanya saja, metode ini masih belum populer di Indonesia,? jelasnya.
Jika dilihat dari penderita, perbandingannya lebih banyak perempuan daripada laki, yakni empat berbanding satu. Ini terjadi karena faktor genetik, lingkungan, dan hormonal. Pada perempuan terutama saat puber, hormon estrogennya tinggi yang menjadi salah satu faktor kemunculan lupus.
“Umur berapapun bisa beda tingkat parah atau tidaknya, karena penyakit ini kan seribu wajah,” ujarnya.
Budi menjelaskan, lupus merupakan penyakit akibat kelebihan antibodi (pertahanan tubuh). Antibodi tersebut melawan sel-sel tubuhnya sendiri.
Awalnya, orangtua panik ketika menghadapi anak yang memiliki gejala lupus. Namun saat ini, pengobatan lupus lebih agresif. Dengan pengobatan terkini, antibodi penderita lupus bisa ditekan supaya tidak berlebihan. Obat ini diberikan satu bulan sekali. Meski begitu, obat tersebut belum menyembuhkan, tetapi hanya menekan antibodi.
“Ada pasien saya yang saat datang kondisinya sudah berat. Tetapi bisa bertahan hingga kini, bahkan sudah kuliah,” tuturnya.
Menurut Budi, sejak lima tahun terakhir RSHS mulai banyak menangani pasien lupus. Hal itu terjadi karena masyarakat mulai sadar gejala lupus dan memeriksakannya ke dokter.
“Kan selama ini tidak terditeksi, tahu-tahu meninggal. Sekarang enggak. Dokter daerah mulai aware, mendapat pasien lupus kirim ke kita atau masyarakat datang ke kita,” ungkap menyebut pasien lupus berasal dari Bandung, Tasikmalaya, Garut, Cirebon, hingga Sulawesi.
Menurutnya, peningkatan penyakit lupus secara umum terjadi di Indonesia. Selain karena faktor kesadaran, juga karena perubahan lingkungan seperti polusi dan minimnya pepohonan di kota-kota. Sehingga sinar matahari tidak terhalangi yang akhirnya memicu lupus.
Sumber: okezone.com