IRA

Perhimpunan Reumatologi Indonesia
Indonesian Rheumatology Association

Apakah Nyeri Sendi Saya Akibat Asam Urat? Kenali Gout

Asam urat seringkali disalahkan jika seseorang mengalami nyeri sendi. Tidak saja di kalangan pasien yang mengalaminya bahkan beberapa dokter yang menemui pasien dengan nyeri sendipun ada yang masih berpikir demikian. Hal ini didapatkan dari sebuah survei yang dilakukan terhadap kurang lebih 200 orang dokter umum beberapa waktu yang lalu. Kenyataannya penyakit nyeri sendi akibat asam urat hanya merupakan sebagian kecil dari semua keluhan nyeri sendi yang ada. Di samping itu terdapat anggapan dalam masyarakat untuk menghindari sayuran hijau dan kacang-kacangan jika terdapat nyeri sendi, baik oleh karena asam urat maupun bukan, hal ini tidak terbukti secara ilmiah. Begitu pula obat penurunan asam urat (alopurinol) yang seringkali salah digunakan untuk keluhan nyeri sendi, padahal obat itu tidak dapat menghilangkan nyeri, bahkan efeknya kadang menyebabkan nyeri semakin bertambah, atau bahkan dapat menyebabkan reaksi alergi yang berat, sampai kerusakan ginjal dan bahkan kematian.

Tidak Semua Reumatik atau Nyeri Sendi adalah Akibat Asam Urat
Reumatik adalah adalah kumpulan penyakit dengan kelainan pada sistim tulang-otot (muskuloskeletal) dan sendi, termasuk kelainan pada jaringan ikat. Ada lebih dari 100 macam penyakit yang dapat menyebabkan nyeri otot dan sendi, dan penyakit reumatik akibat peningkatan kadar asam urat dalam darah (hiperurisemia) hanya merupakan salah satu dari antara berbagai macam penyakit yang ada. Data dari poli reumatologi RS Hasan Sadikin Bandung selama Januari sampai Desember 2010, menunjukan kurang lebih 73% pasien nyeri sendi yang datang berobat mengalami osteoartritis atau dikenal dengan istilah pengapuran dan bukan akibat asam urat. Hanya sekitar 3.3% yang mengalami nyeri sendi disebabkan oleh peningkatan kadar asam urat atau dikenal sebagai artritis gout. Prevalensi artritis gout di dunia berkisar 1-2% dan mengalami peningkatan dua kali lipat dibandingkan dua dekade sebelumnya. Di Indonesia prevalensi artritis gout belum diketahui secara pasti dan cukup bervariasi antara saru daerah dengan daerah yang lain. Sebuah penelitian di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi artritis gout sebesar 1,7% sementara di Bali didapatkan prevalensi hiperurisemia mencapai 8,5%.

Apa itu Artritis Gout?
Artritis gout merupakan penyakit radang pada sendi yang dapat menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat, disertai dengan bengkak, hangat, kadang kemerahan pada sendi yang terkena dan sulit untuk digerakkan. Penyakit ini diakibatkan oleh deposisi kristal monosodium urat (MSU) di dalam sendi yang memicu reaksi peradangan. Keadaan ini sangat berhubungan dengan peningkatan kadar asam urat di dalam darah (hiperurisemia), namun orang yang mengalami hiperurisemia belum tentu menderita artritis gout.

Peningkatan kadar asam urat di dalam darah seseorang berhubungan dengan dua faktor yaitu produksi yang berlebihan (overproduction) atau pengeluaran asam urat yang menurun (underexcretion) melalui ginjal atau kombinasi keduanya.

Siapa saja yang bisa terkena?
Artritis gout umumnya dijumpai pada laki-laki dari semua usia, paling sering pada dekade kelima atau keenam, namun pada perempuan umumnya dijumpai pada usia lanjut (lansia) atau sesudah menopause. Faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya artritis gout antara lain: penyakit komorbiditas seperti kegemukan, tekanan darah tinggi (hipertensi), dan diet tinggi purin serta konsumsi alkohol. Di samping itu obat-obatan tertentu dapat menyebabkan penurunan ekskresi asam urat. (contohnya: obat diuretik yang digunakan pada penderita sakit jantung atau pirazinamid yang digunakan pada penderita TBC).

Penting untuk mengenali penyakit ini
Apabila tidak diobati dengan cara yang benar artritis gout dapat menimbulkan serangan yang berulang, menjadi penyakit sendi menahun disertai pembentukan tofus (benjolan berisi kristal-kristal asam urat) serta dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi di samping kerusakan pada sendi itu sendiri. Komplikasi yang mungkin timbul adalah penyakit jantung, penyakit ginjal (batu ginjal atau kerusakan fungsi ginjal), dan penurunan kualitas hidup maupun produktivitas kerja akibat nyeri, kecacatan karena kontraktur sendi serta peningkatan biaya pengobatan.

Penyakit artritis gout terdiri atas 4 fase yaitu:

Hiperurisemia asimptomatik (tanpa gejala):
Bila konsentrasi asam urat lebih dari batas normal dalam darah maka cenderung akan terjadi kejenuhan, hal ini disebut hiperurisemia, yaitu >7 g/dL pada laki-laki dan >6g/dL pada perempuan. Pada fase ini peningkatan asam urat tidak disertai gejala klinis. Tidak dibutuhkan obat penurun asam urat pada fase ini, kecuali jika kadar asam urat sangat tinggi.

Artritis gout akut:
Gejalanya berupa serangan akut (mendadak), sendi menjadi nyeri, hangat, bengkak, merah, dan sulit digerakkan. Nyeri meningkat sampai puncaknya dalam 8-12 jam. Sendi yang terlibat pada serangan pertama umumnya satu sendi dan yang paling sering terkena adalah pangkal ibu jari kaki (90%), sendi-sendi lain: pergelangan kaki, lutut dan jarang-jarang di pergelangan tangan, jari-jari tangan dan siku. Tanda klasik, penderita merasa sangat nyeri sehingga sulit untuk berjalan atau memakai sepatu. Kadang disertai gejala umum berupa demam, menggigil atau lemas. Pemeriksaan kadar asam urat dalam darah pada saat serangan dapat meningkat atau dapat pula normal, karena konsetrasi terutama di dalam sendi. Perjalanan alamiah artritis gout yang tidak diobati akan pulih sendiri dalam beberapa jam sampai 1-2 minggu. Pemeriksaan kadar asam urat dalam darah dianjurkan setelah 2 minggu serangan akut karena menunjukkan kadar asam urat yang sesungguhnya. Serangan pertama dan serangan berikutnya umumnya lebih dari satu tahun. Selanjutnya serangan akan bertambah sering dan nyerinya lebih lama, dan melibatkan lebih dari satu sendi.

Interkritikal gout
Fase ini adalah fase di mana penderita bebas dari serangan nyeri, atau fase antara satu serangan dengan serangan berikutnya, berlangsung rata-rata 6 bulan sampai 2 tahun. Pada serangan yang kedua dan seterusnya waktu ini akan semakin singkat. Meskipun tidak ada rasa nyeri proses peradangan terus berlangsung pada fase ini sehingga penderita yang tidak mendapatkan pengobatan yang benar akan mengalami serangan akut yang lebih sering dan berlanjut pada stadium kronik disertai pembentukan tofus.

Artritis gout tofaseus kronik
Stadium kronik (menahun) ini berkembang umumnya setelah kurang lebih 12 tahun (5-40 tahun) sejak serangan gout akut pertama. Tofus gout subkutan dapat ditemukan di seluruh tubuh: di jari tangan, pergelangan, telinga, lutut, siku. Komplikasi tofus antara lain nyeri dan kerusakan sendi serta penekanan pada pembuluh saraf.

Batu asam urat di ginjal
Selain nyeri sendi dapat juga terjadi penumpukan asam urat di ginjal dan membentuk batu asam urat. Keluhan yang dirasakan penderita adalah nyeri pinggang hebat (kolik) jika batu tersebut menyumbat saluran kencing. Keluhan lain yaitu keluar batu atau pasir pada saat berkemih, atau terdapat darah dalam urin. Batu asam urat ini dapat mengganggu fungsi ginjal dan bahkan merusak ginjal sehingga penderita harus menjalani terapi cuci darah (hemodialisis). Karena itu penting untuk mengevaluasi dan memantau fungsi ginjal penderita dengan gout.

Bagaimana Penatalaksanaan Artritis Gout?

Penatalaksanaan non farmakologik
Modifikasi gaya hidup, termasuk olah raga, mengurangi berat badan bagi yang gemuk, dan diet rendah purin dapat menurunkan serangan gout akut. Alkohol harus dihindari karena selain meningkatkan produksi juga mengganggu pengeluaran asam urat melalui ginjal. Trauma berulang pada satu sendi dan kekurangan cairan (dehidrasi) dapat memicu serangan gout, sehingga harus dihindari.

Makanan yang mengandung tinggi purin
-Makanan dan minuman yang mengandung alkohol: arak, bir, anggur, tape ketan, tape singkong, tuak dan makanan beragi
-Remis, udang, kerang, kepiting, lobster (sea food)
-Makanan yang diawetkan (kornet,sardin)
-Jerohan (otak, lidah, paru, hati, babat, usus)
-Daging merah atau Kaldu daging (sop kental)

Penelitian mendapatkan bahwa konsumsi sayuran kaya purin, seperti kembang kol, bayam, kangkung dan kacang-kacangan tidak meningkatkan risiko terkena serangan artritis gout. Pada saat serangan akut, tindakan yang perlu dilakukan adalah mengistirahatkan daerah yang nyeri kemudian dapat dilakukan pertolongan pertama dengan mengompres daerah yang meradang dengan air dingin.

Penatalaksanaan farmakologik
Konsultasikan segera dengan dokter untuk penanganan serangan gout akut. Hal yang paling penting adalah jangan mengkonsumsi obat-obat “”stelan”” atau jamu yang mengklaim dapat menyembuhkan asam urat, beberapa di antaranya dapat menyebabkan efek samping yang berbahaya seperti perdarahan saluran cerna dan kerusakan ginjal. Prinsip utama terapi adalah mengatasi rasa nyeri dan menghilangkan radang pada serangan akut. Di samping itu, bagi mereka yang belum atau tidak sedang mengkonsumsi obat-obat penurun asam urat (seperti alopurinol), jangan memulai konsumsi obat-obat tersebut pada saat sedang serangan, hal tersebut dapat merangsang penguraian kristal asam urat dan menambah proses peradangan menjadi semakin luas dan berat. Sebaliknya, jika sudah didiagnosis artritis gout dan sedang dalam terapi obat penurun asam urat, maka obat tersebut harus diteruskan dengan dosis yang sama selama serangan berlangsung. Pemberian obat penurun kadar asam urat atau perubahan dosis sebaiknya dilakukan setelah serangan akut teratasi (kurang lebih 2 minggu). Konsultasikan dengan dokter mengenai hal ini, jangan mengkonsumsi sendiri obat-obat penurun asam urat karena reaksi alergi dan efek samping yang cukup berat dapat terjadi, bahkan sampai kerusakan fungsi ginjal. Dokter akan mengatur dosis obat penurun kadar asam urat berdasarkan fungsi ginjal penderita dan kadar asam urat dalam darahnya. Pada keadaan tertentu obat-obat penurun asam urat harus diminum untuk seumur hidup untuk mencegah serangan ulang gout dan menjaga agar tidak terjadi kerusakan pada ginjal akibat batu asam urat.

Oleh: dr Laniyati Hamijoyo SpPD-KR, M Kes

Penulis adalah: Konsultan Reumatologi/ Staff pengajar Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RS Hasan Sadikin Bandung

Artikel pernah dimuat di Pikiran Rakyat (22/12/2011)